Dalam dunia bisnis dan industri kreatif yang serba cepat, kita seringkali fokus pada metrik yang terukur: target penjualan, tenggat waktu proyek, dan efisiensi produksi. Kita diajarkan untuk menjadi produktif, inovatif, dan kompetitif. Namun, di tengah semua itu, ada satu keterampilan fundamental yang seringkali terabaikan namun menjadi penentu utama kesuksesan jangka panjang, yaitu seni menghargai orang lain. Ini bukan sekadar tentang mengucapkan “terima kasih” atau memberikan bonus tahunan. Menghargai orang lain adalah sebuah strategi aktif dan mendalam untuk membangun fondasi kepercayaan, loyalitas, dan kolaborasi yang luar biasa, baik dengan tim internal, klien, maupun mitra bisnis. Memahami dan mempraktikkan seni ini secara efektif adalah keunggulan kompetitif yang tidak bisa ditiru oleh teknologi atau diduplikasi oleh pesaing.
Kenyataannya, lingkungan kerja modern seringkali tanpa sadar menciptakan budaya yang transaksional. Karyawan merasa hanya dihargai berdasarkan hasil akhir, bukan usaha. Klien merasa seperti nomor antrean, bukan mitra strategis. Fenomena seperti “quiet quitting” atau tingkat perputaran karyawan yang tinggi di industri kreatif bukanlah tanpa sebab. Sebuah studi oleh Gallup secara konsisten menunjukkan bahwa salah satu alasan utama karyawan meninggalkan pekerjaannya adalah karena merasa tidak dihargai atau diakui. Ketika kontribusi seseorang terasa tidak terlihat, motivasi intrinsik mereka akan terkikis. Di sisi lain, dari sudut pandang pemasaran dan bisnis, pelanggan yang merasa dihargai bukan hanya akan kembali, tetapi mereka akan menjadi duta merek Anda. Kurangnya apresiasi menciptakan hubungan yang rapuh, mudah goyah oleh tawaran harga yang lebih murah atau layanan yang sedikit lebih cepat dari kompetitor. Inilah tantangan yang kita hadapi: bagaimana mengubah interaksi yang dangkal menjadi hubungan yang bermakna melalui apresiasi yang tulus dan efektif?

Rahasia pertama untuk menguasai seni ini adalah dengan menghargai orang lain melalui pendengaran yang aktif dan penuh perhatian. Banyak yang berpikir apresiasi adalah tentang apa yang kita katakan, padahal seringkali ia dimulai dari bagaimana kita mendengarkan. Memberikan perhatian penuh saat seseorang berbicara, baik itu anggota tim yang menjelaskan sebuah kendala desain atau klien yang mengungkapkan kekhawatirannya, adalah bentuk penghargaan tertinggi. Ini mengirimkan pesan yang kuat: “Pendapat Anda penting, waktu Anda berharga, dan saya peduli dengan apa yang Anda pikirkan.” Praktiknya tidak hanya diam saat orang lain berbicara, tetapi juga mengajukan pertanyaan klarifikasi yang menunjukkan Anda terlibat (“Bisa tolong jelaskan lebih lanjut bagian yang menurutmu paling menantang?”), dan melakukan parafrase untuk memastikan pemahaman (“Jadi, jika saya tangkap dengan benar, prioritas utama kita adalah memastikan kemasan ini terlihat premium, bahkan jika harus menambah sedikit biaya produksi?”). Di dunia yang penuh distraksi, memberikan hadiah berupa perhatian yang tak terbagi adalah cara paling ampuh untuk membuat seseorang merasa dihargai.

Selanjutnya, geser fokus apresiasi Anda dari sekadar hasil akhir menjadi penghargaan terhadap proses, usaha, dan keberanian untuk mencoba. Ini adalah perubahan paradigma yang sangat kuat, terutama dalam industri yang menuntut inovasi seperti desain, pemasaran, dan teknologi. Seorang pemimpin atau rekan kerja yang hanya memuji ketika target tercapai secara tidak langsung menciptakan budaya yang takut akan kegagalan. Akibatnya, tim akan enggan mengambil risiko atau mencoba ide-ide baru yang radikal. Sebaliknya, hargailah prosesnya. Puji seorang desainer atas riset mendalam yang ia lakukan, meskipun konsep awalnya ditolak klien. Akui kerja keras tim pemasaran dalam menganalisis data, bahkan jika kampanye tersebut tidak mencapai KPI yang diharapkan. Mengatakan, “Saya sangat mengapresiasi cara kalian berkolaborasi untuk mengatasi masalah teknis kemarin, itu menunjukkan kekompakan tim yang luar biasa,” akan jauh lebih berdampak dalam jangka panjang daripada sekadar, “Kerja bagus, proyek selesai.” Menurut Carol Dweck, psikolog dari Stanford University, memuji proses akan menumbuhkan growth mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan dapat dikembangkan, yang pada gilirannya akan meningkatkan resiliensi dan keinginan untuk terus belajar.

Terakhir, jadikan apresiasi Anda bermakna dengan menyampaikannya secara spesifik, personal, dan tepat waktu. Pujian yang generik seperti “kerja bagus” atau “terima kasih atas bantuannya” memang tidak salah, tetapi dampaknya minimal dan mudah dilupakan. Otak kita lebih merespons informasi yang konkret. Bandingkan “Terima kasih atas desain brosurnya” dengan “Saya sangat suka pilihan palet warna biru tua yang kamu gunakan di brosur itu. Itu benar-benar berhasil menonjolkan citra merek kita yang elegan dan terpercaya. Terima kasih.” Apresiasi yang spesifik menunjukkan bahwa Anda benar-benar memperhatikan detail pekerjaan mereka, bukan sekadar basa-basi. Hal yang sama berlaku untuk mitra bisnis, seperti percetakan. Alih-alih hanya mengatakan terima kasih saat menerima barang, kirimkan email singkat: “Kami baru saja menerima cetakan kemasan kami, dan kami sangat terkesan dengan ketajaman warnanya yang presisi. Ini akan sangat membantu kami dalam peluncuran produk. Terima kasih atas kerja keras tim Anda.” Penghargaan spesifik seperti ini tidak hanya membuat penerimanya merasa senang, tetapi juga memperkuat perilaku positif dan membangun hubungan kerja yang lebih dari sekadar transaksional.